Tuesday, October 9, 2007

Belajar dari Jepang


"Kira-kira siapa yang tahu kenapa Jepang menjadi salah satu negara maju padahal pada tahin '45 negara mereka hancur lebur setelah dibom atom oleh Amerika?", demikian pertanyaan oleh salah seorang instruktur pelatihan saya di kantor.

"Karena mereka punya mental yang oke, Pak", sahut salah seorang teman.

"Karena mereka orangnya pintar-pintar, Pak", sahut seorang teman yang lain.

Dan masih beraneka ragam lagi jawaban dari teman-teman saya.

"Menurut saya Jepang bisa maju seperti sekarang karena mereka bisa jadi peniru. Tapi..., bukan sembarang meniru. Mereka bisa meniru dengan lebih baik", jelas instruktur saya.

"Di tahun 1945 kondisi Jepang tidak lebih baik daripada Indonesia. Tapi sekarang kita bisa bandingkan kondisi Jepang dengan Indonesia", sambungnya.

Saya tiba-tiba teringat dengan konsep ATM yang merupakan singkatan dari Amati, Tiru, dan Modifikasi yang kerap dijadikan pedoman bagi banyak orang ketika melakukan improvement.

Ketika seseorang hanya menjadi peniru sejati, sekali lagi : peniru sejati, maka dia tidak akan bisa menjadi maju dan akan selalu tertinggal dibandingkan dengan apa atau siapa yang ditirunya. Ketika yang ditiru sudah mempraktekkan teori A, sang peniru sejati baru mempraktekkan teori A. Ketika yang ditiru sudah mulai beranjak ke teori B, sang peniru sejati tetap masih mempraktekkan teori A. Demikian pula seterusnya. Singkatnya, selalu ada jarak dan ruang yang memisahkan antara yang ditiru dengan sang peniru sejati.

Tapi bagi seorang peniru yang cerdas, yang mau memodifikasi secara lebih baik, dia akan meniru dan sekaligus memberi atau meningkatkan nilai tambah. Dengan demikian, dia bahkan bisa berada di depan dibandingkan dengan apa yang ditirunya.

Contoh yang sangat menarik untuk dikaji bisa kita temukan pada diri Sakichi Toyoda yang tak lain adalah pendiri Toyota. Pada 1890, Toyoda menyempurnakan teknologi mesin pintal yang merupakan hasil penemuan 150 tahun sebelumnya di Inggris. Dalam jangka waktu 35 tahun, penyempurnaan kecil terus-menerus yang dilakukan terhadap temuan pertamanya itu membuat Toyoda mampu menyalip kepemimpinan teknologi Eropa selama 150 tahun dengan penemuan mesin pintal fully automatic pertama di dunia. Bahkan hak paten mesin pintal yang dapat berhenti sendiri kalau ada benang yang lepas atau putus ini dijual ke sebuah manufaktur tekstil terkemuka di Inggris.

Contoh yang lain juga bisa kita amati dari seorang VP Eksekutif Toyota dua dasawarsa setelah Toyoda yaitu Taiichi Ohno. Pada tahun 1956 Taiichi Ohno mengunjungi pabrik
GM, Ford, dan Chrysler di AS. Tujuannya untuk menyadap secara selektif teknologi dan praktek terbaik dari kampiun industri otomotif yang telah mapan dan bukan untuk mendapatkan transfer teknologi langsung. Dengan demikian, Toyota bisa tetap independen. Setelah belajar dari The Big Three tersebut, Ohno justru bisa melahirkan sebuah konsep baru yang sangat terkenal di dunia manufaktur yaitu Toyota Production System atau TPS yang diilhami oleh konsep supermarket yang saat itu sudah banyak bertebaran di AS.

Sangat menarik bukan? Mulai saat ini kalau kita memang ingin menjadi seorang peniru, maka jadilah peniru yang cerdas.

Tuesday, October 2, 2007

Mom's Birthday


Tanggal 2 Oktober yang lalu adalah hari ulang tahun Ibu yang ke-60. Tak terasa usia Ibu sudah kepala enam. Bagi saya, Ibu adalah segalanya. Ibulah orang yang paling berjasa dalam kehidupan saya.

Waktu saya lahir, ibu sempat mengalami perdarahan hebat dan sampai membutuhkan transfusi darah. Kebetulan waktu itu sulit sekali mencari golongan darah AB. Tapi alhamdulillah di PMI ada stok darah bergolongan AB. Urusan sudah selesai? Belum. Begitu darah ditransfusikan ke Ibu, tubuhnya langsung menggigil kedinginan sebagai reaksi penolakan atas darah yang masuk ke tubuhnya. Dokter langsung menyuruh transfusi dihentikan saat itu juga dan memerintahkan mencari stok darah bergolongan AB lagi. Saya tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Ibu saat itu. Sudahlah sakit karena setelah melahirkan saya, ditambah tubuh kecilnya yang lemas karena kekurangan darah hingga beberapa waktu lamanya.

Mungkin karena itulah saya menjadi anak yang paling dekat dengan Ibu : karena dilahirkan dari rahim Ibu dengan susah payah. Waktu Ibu menderita stroke beberapa waktu lalu, kakak, adik, bude, dan para sepupu-lah yang paling getol menyuruh saya pulang duluan ke Solo secepatnya. Karena mereka tahu, kehadiran saya di sisi Ibu insya Allah bisa menjadi obat bagi Ibu. Padahal saat itu istri saya habis mengalami perdarahan pada saat kehamilan di trimester pertama dan harus full bed rest di rumah.

Tahun 1990 Bapak meninggal di saat anak-anaknya masih duduk di bangku sekolah. Waktu itu kakak laki-laki saya kelas 2 atau 3 SMA, saya sendiri di kelas 5 SD, dan adik perempuan saya masih kelas 1 SD. Sejak itulah Ibu harus menanggung kehidupan kami semua.

Ibu adalah ibu rumah tangga biasa. Tapi kami bangga sekali dengan Ibu yang dengan segenap perjuangannya akhirnya kami bertiga bisa lulus kuliah dan ketiga-tiganya dari perguruan tinggi negeri. Kami sekolah dengan harta dan tabungan peninggalan Bapak yang tidak seberapa, tapi alhamdulillah cukup untuk hidup dan sekolah. Kadang kala ibu harus keluar masuk rumah tetangga untuk menawarkan baju-baju ataua barang-barang rumah tangga ke mereka. Kadang pula Ibu menggelar barang-barang dagangannya di majelis-majelis taklim. Tak seberapa mungkin Rupiah yang didapat, tapi perjuangan Ibu yang tak kenal lelah untuk menghidupi dan menyekolahkan kami menjadi spirit yang luar biasa bagi saya.

I do love you, Mom....

Doakan mudah-mudahan suatu hari nanti kami bertiga bisa menghajikan dan lebih membahagiakan Ibu. Amin.