Sunday, September 30, 2007

Pilah-pilih Makanan di Foodcourt Singapore



Ketika kita bepergian ke Singapura, jangan heran kalau bertebaran restoran di food court yang menyajikan masakan Padang. Tapi, rasanya belum tentu sama dengan masakan Padang yang jamak kita jumpai di Indonesia. Rasanya sedikit lebih manis.

Yang ada di kepala kita pasti pikiran "Ah, masakan Padang sudah pasti halal!". Di Singapura, masakan Padang di restoran-restoran tersebut belum tentu halal (baca : belum tentu mendapat sertifikat halal dari MUIS/Majlis Ugama Islam Singapura atau MUI-nya Singapura). Saya pun baru menyadarinya pada saat kunjungan saya yang ke-2 di hari yang ke-2 pula.

Begini penjelasannya. Di foodcourt-foodcourt Singapura, piring dan sendok dari semua penyewa dicuci jadi satu tempat. Jadi, ada petugas yang bertugas mengumpulkan piring-piring kotor dari meja-meja kemudian dia akan membawa di satu tempat mencuci piring yang sama. Itu menurut keterangan salah seorang petugas di Marina Food of Republic yang saya jumpai malam itu. Bisa dibayangkan, piring-piring kotor dari tempat makan baik yang menyediakan pork atau tidak bercampur menjadi satu. Jadi makanan yang semula halal (tidak menggunakan bahan yang diharamkan) bisa jatuh menjadi haram jika pada saat mencuci piringnya tidak dipisah dan tidak pula dicuci secara benar (syar'i).

Lantas bagaimana kita mencari makanan halal di sana? Mudah saja. Cari tempat makan yang memasang sertifikat halal dari MUIS. Sertifikat ini biasanya dipasang di depan supaya mudah terlihat. Tak peduli apakah itu restoran Cina, Thailand, atau apapun, asalkan sudah punya sertifikat halalnya dari MUIS saya tidak pusing-pusing lagi memikirkan bagaimana piring dan sendok yang dipakainya dicuci di foodcourt tersebut. Karena MUIS insya Allah pasti sudah mengaudit semuanya.

Menurut pengalaman saya, agak butuh sedikit perngorbanan baik dari sisi waktu dan tenaga (untuk jalan kaki) mencari restoran yang sudah punya sertifikat halal. Tapi ketika kita bisa mendapatkan restoran yang dimaksud, puas sekali rasanya walaupun rasa masakannya mungkin biasa-biasa saja.

Jangan pula khawatir ketika kita membeli penganan (kue basah) di minimarket Seven Eleven. Di sana banyak donat atau kue-kue basah yang sudah disertifikasi halal oleh MUIS. Untuk menu sarapan, saya biasa membeli donat atau penganan halal lainnya dari Seven Eleven malam hari sebelumnya. Ini saya lakukan kalau hotel tempat saya menginap tidak mempunyai halal kitchen. Menurut informasi yang pernah saya dapatkan, Hotel Hyatt Singapura sudah memiliki halal kitchen. Sehingga tempat mengolah menu-menu yang halal dan non-halal sudah dipisahkan. Di Indonesia? Hmmm..., sepertinya belum ada hotel yang punya halal kitchen. Tak jarang kita menemui menu non-halal di hotel tersebut.

Ketika saya menginap di Hotel Marina Mandarin Singapura saya sempat bertanya kepada dua orang staf hotel apakah di hotel tersebut ada halal kitchen atau tidak. Mereka menjawab tidak ada.

"Tapi jangan khawatir, kami tidak ada menu pork. Kami belum dapat sertifikat halal karena kami menyajikan minuman berlalkohol", begitu mereka menjelaskan pada saya. Well, saya percaya ucapan mereka.

"Kalau begitu amanlah saya pakai peralatan makan di hotel ini karena kalau gelas bekas alkohol tidak harus dicuci secara khusus," begitu pikiran saya.

tapi betapa kagetnya saya ketika malam harinya saya ditawari menu sarapan yang mengandung pork. Seketika itu juga saya langsung menulis form komplain ke pihak manajemen hotel dan saya serahkan ke kasir pada saat check out. Sampai sekarang saya tidak pernah mendapatkan penjelasan dari pihak manajemen atas informasi menyesatkan dua orang stafnya. Padahal, saya sudah meninggalkan alamat surat dan email dengan harapan mereka akan menjawab komplain saya.

Seorang ustadz yang pernah bersilatutahim ke MUI pernah bercerita kepada saya. Saat beliau berada di kantor MUIS, beliau melihat banyak sekali warga etnis Cina mengantri di sana. Beliau kira mereka mengantri untuk mengucapkan kalimat syahadat. Ternyata tidak. Mereka sedang mengantri untuk mendaftarkan rumah makan mereka supaya bisa mendapatkan sertifikat halal dari MUIS. Butuh waktu sekian bulan bagi mereka sebelum sertifikat halal bisa dikantongi, mengingat proses audit dari MUIS yang lumayan ketat.

Jadi, tidak ada salahnya kita berhati-hati membeli makanan di Singapura. Di sana masih banyak menu halal walaupun untuk mencarinya perlu sedikit usaha.
















Ketik

Belajar dari Cabe

"Ambil cabenya yang banyak aja sekalian nggak apa-apa, biar tumbuhnya makin banyak", begitu kata istri saya setiap kali ada tetangga yang ingin memetik cabe di rumah.

Di halaman rumah saya memang tumbuh beberapa pohon cabe yang lebat buahnya. Mau tahu rahasianya? Pupuk kandang-lah jawabannya. Pupuk kandang ini murah meriah, tapi hasilnya luar biasa. Kata tukang bunga yang paling bagus adalah pupuk kandang yang belum difermentasi dan berasal dari kotoran kambing.

Termasuk pohon-pohon cabe yang ada di halaman rumah saya, buahnya tumbuh lebat salah satunya berkat pupuk kandang ini. Sehingga, tak heran setiap orang yang lewat rumah pasti suka melihat warna-warni merah dan hijau buah cabe saya. Dan tak sedikit pula di antara mereka yang tergoda untuk memetiknya.

Ucapan istri saya itu selalu terngiang-ngiang di telinga. Katanya, pohon cabe itu semakin banyak dipetik maka akan semakin banyak pula tumbuh buahnya.

Suatu waktu saya juga mendengar istri saya berkata,"Kalau metik cabe jangan hanya yang di bagian bawah, tapi bagian atas juga. Supaya rimbun buahnya jadi merata".

Subhanallah. Dari cabe inilah hati saya jadi semakin tersadar bahwa ketika semakin banyak harta yang kita sedekahkan, maka pada hakikatnya harta kita tidak menjadi berkurang, tapi jadi bertambah. Hitung-hitungan Allah memang tidak sama dengan matematika biasa.

Dalam QS Al-Baqarah:261 Allah berfirman :

“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan 1 butir benih yang menumbuhkan 7 bulir, dan pada setiap bulir terdapat 100 biji. Allah melipatgandakan balasan bagi yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui”


Harta kita yang hakiki bukanlah uang yang tersimpan di dompet, tabungan, deposito, dan lain sebagainya. Bukan pula rumah yang kita tempati atau mobil yang kita kendarai setiap hari. Harta kita yang akan kita bawa mati adalah harta yang dibelanjakan di jalan Allah. Harta kita yang hakiki adalah zakat kita, infak kita, dan sedekah kita.

Jadi, marilah kita perbanyak investasi akhirat kita dengan tangan yang selalu di atas.


Wednesday, September 19, 2007

Bertandang ke Rumah Teman Lama


Beberapa waktu yang lalu ketika saya sedang berlancar di dunia maya saya melihat Masbukhin sedang online di Yahoo Messenger (YM). Segera saja saya sapa dia karena sudah lama kami tak bersua baik secara tatap muka maupun sekedar hanya di dunia maya. Bisa dimaklumi, mengingat frekuensi aktivitasnya yang semakin tinggi bahkan hingga ke luar Jawa. Selain bisnis voucher-nya yang semakin mapan, kini dia juga disibukkan dengan mengisi acara-acara seminar setelah buku "Karyawan Beromset Milyaran"-nya laris manis.

Setelah beberapa lamanya kami chatting, dia pamit akan offline karena akan menjemput anaknya pulang sekolah.

“Wah asyik ya kalau jadi pengusaha, bisa enak ngatur waktunya dan bisa antar jemput anak sekolah”, dalam hati saya membatin.

Tak lupa dia mengundang saya untuk dating ke rumahnya. Syukuran rumah baru katanya.

Akhirnya Saya berangkat berdelapan bersama teman-teman kantor yang lain. Begitu tiba di rumah barunya yang berada di Cempaka Putih Timur, tampak dari luar rumahnya cukup nyaman. Setibanya di sana Bukhin menyambut kami dengan hangat. Gayanya sudah beda sekarang. Gaya bos. Menggunakan Rumah dua tingkat yang berdiri di atas lahan 200-an meter persegi itu berbandrol 1,6 M! Hebat sekali batin saya. Hanya setahun setelah keluar dari kantor, dia sudah punya rumah senilai sepuluh digit.

“Ah aku ngumpulin duit cash 300 juta aja pinjem sana-sini termasuk dari saudara kok. Sisanya aku KPR-in”, begitu kata Masbukhin merendah.

“Per bulan cicilanku 13 jutaanlah”, sambungnya lagi.

Wow, tentu income-nya jauh di atas itu. Angka segitu mungkin kisaran gaji pokok level manajer di beberapa perusahaan tertentu. Tapi bagi Masbukhin, angka segitu hanyalah sepersekian dari income per bulannya.

Tata ruang rumahnya sungguh nyaman. Lantai satu terdiri dari ruan tamu, ruang keluarga, dan dapur. Di bagian belakang rumahnya masih tersisa tanah kosong dengan sebuah pohon mangga yang cukup teduh. Lantai dua terdiri dari tiga kamar tidur yang salah satunya difungsikan sebagai kantor atau ruang kerja para karyawannya.

Saya sendiri ikut senang dia sudah punya tempat tinggal yang jauh lebih nyaman daripada kontrakannya di Kodamar. Kontrakannya itu baru habis masa kontraknya beberapa bulan mendatang sehingga masih digunakan untuk menjalankan bisnisnya.

“Sayang kalau kontrakan itu ditinggal, karena dari sana per bulannya bisa menghasilkan sekitar Rp 2 juta,” katanya menjelaskan.

Kesuksesan yang diraihnya sekarang tidaklah mengherankan dan merupakan bagian dari perjalanan bisnisnya sejak bertahun-tahun yang lalu. Kegagalan demi kegagalan pernah dialami dalam perjalanan bisnisnya. Keberhasilannya yang sekarang merupakan hasil pembelajaran atas kegagalan-kegagalannya yang lalu.

Semoga kesuksesan selalu mengiringi langkah-langkahmu, Teman. Amin.

Tuesday, September 4, 2007

Jenis Kelamin Tidak Hanya "Laki-laki" atau "Perempuan"




Saya sungguh kaget ketika membaca pilihan jenis kelamin yang diberikan ketika mengisi form pembuatan blog di Blogspot. Ternyata, pilihannya tidak hanya dua, tetapi ada tiga yaitu : Wanita, Pria, dan Bukan yang diberikan.

Hayo..., Anda termasuk yang memilih mana...?

This is Us....


Ada empat orang yang berada di belakang layar JC yaitu sahabat karib saya semenjak SMA yaitu Riyanto beserta istrinya Ina, istri saya Intan, dan tentu saja saya sendiri. Kalau ada pertanyaan apakah nggak ruwet kalau sebuah usaha diurus rame-rame seprti itu, maka jawabannya bisa bermacam-macam. Tetapi bagi kami jawabannya adalah “ALHAMDULILLAH TIDAK”. Hubungan kami yang sangat baik selama inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa akhirnya JC lahir.



Saya dan Riyanto sudah bersahabat sejak SMA ketika kami sama-sama sekolah di SMA 1 Solo. Ternyata kami pun kemudian diterima di jurusan yang sama ketika kuliah, yaitu di Teknik Elektro UGM Yogyakarta. Di Kota Gudeg itu kami pun tinggal di kos yang sama dan lulus dalam waktu yang hampir sama. Dan pada akhirnya kami sama-sama juga diterima di Astra walaupun di anak perusahaan yang berbeda.

Ketika hijrah ke Jakarta, kami memutuskan tinggal di kos yang sama selama beberapa tahun lamanya. Jarak waktu pernikahan kami pun hanya empat belas hari. Dan istimewanya, kami sama-sama memiliki istri yang berdarah Minang. Sekarang kami sama-sama dikarunia seorang putri yang cantik-cantik. Pendek kata, garis nasib seolah memang menakdirkan kami untuk selalu bersama.

Bagi sahabat saya ini, dunia bisnis bukan hal yang baru. Saat ini dunia internet marketing tengah ditekuninya. Komitmennya di dunia ini sungguh patut diacungi jempol. Baginya, tiada hari tanpa tersambung ke dunia maya. Tak peduli waktu hingga larut malam dan penat masih menggelayuti tubuhnya sepulang dari kantor, jemarinya menari-nari di atas keyboard laptop menembus dunia maya. Ketika hari libur bahkan ke manapun dia pergi, sebuah laptop pun tak pernah bisa lepas dari dirinya. Katanya suatu waktu pada saya “dunia internet marketing tidak mengenal batas wilayah karena siapapun dan di manapun bisa membeli produk kita”.

“Aku punya mimpi suatu saat aku nggak perlu ngantor lagi, tetapi di manapun aku berada duit akan selalu mengejarku”.

Hasilnya, gemerincing dollar amerika sudah mulai masuk ke kantongnya. “Semua ongkos belajar bisnisku sudah lunas”, katanya puas.

Mudah-mudahan cita-citamu tercapai, Sobat !

Ina, istrinya yang baru saja melepaskan status TDB, juga tak bisa lepas dari dunia bisnis. Keluar masuk Tanah Abang sudah sangat sering dilakoninya. Barang-barang dagangannya sudah merambah ke berbagai wilayah ke luar Jawa. Perempuan yang satu ini seolah tak mau kalah dengan suaminya.

Intan, istri saya tercinta, juga sudah belajar bisnis sejak lama. Waktu masih di bangku SD, kartu lebaran hasil karyanya dijual ke teman-temannya. “Lumayan untuk menambah uang saku”, katanya. Jualan sandal dan sepatu pun pernah dilakoninya saat masih duduk di bangku kuliah. Dunia desain pun telah diakrabinya semenjak SD. Tak heran kalau sekarang kegemarannya itu seakan telah menemukan penyalurannya yaitu dengan mendesain produk-produk JC.

Sedangkan saya sendiri, belajar bisnis baru dimulai empat tahun yang lalu ketika bersama-sama dengan teman kerja di kantor mendirikan usaha soto betawi. Kami namai bendera usaha tersebut dengan “Soto Betawi Bang Sis”. Label “Bang Sis” memang terdengar agak aneh disandingkan dengan produk soto betawi. Tapi itu ada ceritanya. Saya dan teman-teman sama-sama menangani area SAP Basis Administrator. Dari istilah “Basis” inilah nama “Bang Sis” bermula. Bang Sis secara efektif hanya bermur delapan bulan, karena empat bulan sisanya praktis terbuang sia-sia. Akan tetapi, banyak sekali pelajaran yang didapat dari sini. Bisnis di dunia kuliner memang sangat menjanjikan. Saya saja masih penasaran dan ingin suatu sata terjun di bidang ini lagi. Apalagi, istri saya tercinta memang jago masak.

Mudah-mudahan kontribusi kami di dunia busana muslim khususnya jilbab mendapat ridha Allah SWT. Amin. Karena ini bukan hanya kerja, tapi juga dakwah.

Monday, September 3, 2007

Peluncuran JilbabCantik




Tepat pada hari Minggu 26 Agustus 2007 yang lalu kami melakukan peluncuran perdana produk kami dengan label JilbabCantik (JC), jilbab nan cantik dengan harga ciamik berkualiatas butik. Momentum ini berlangsung di arena bazar family day kantor yang mengambil tempat di Bumi Perkemahan Cibubur. Ini sekaligus juga menjadi ajang yang menandai kemunculan kami di ruang publik.

Sambutannya...? Subhanallah ! Ruarrr biasaaa !!! Terus terang, kami sangat terkejut dengan respon para pengunjung terhadap JC. Kami berempat sampai kewalahan melayani antusiasme para pengunjung stand kami.


Selain kualitas produknya, mungkin ada dua faktor lain yang membuat stand kami cukup ramai dikunjungi. Pertama, kami menyebarkan pamflet dengan bumbu Sensational Offer. Kedua, kami memasang x-banner di depan stand kami yang tentu saja cukup menarik perhatian.

“Waah, ini merek baru ya... Bahan jilbabnya bagus ya.. Eksklusif.”

“Dimana saya bisa temui JC lagi...?”

Dan masih banyak lagi komentar-komentar yang cukup membesarkan hati. Bahkan, ada sebuah kejadian yang tidak bisa kami lupakan yaitu ketika ada seorang ibu yang bersikeras untuk memiliki jilbab yang seragam dengan mertuanya sementara stok warna dan model yang dipilihnya hanya tinggal satu. Tanpa berpikir panjang, ibu itu ingin membeli jilbab yang dimaksud yang kebetulan sama persis dengan jilbab yang sedang dipakai oleh istri saya.

“Tapi bu..., ini kan sudah saya pakai. Benar nggak apa-apa?”, Tanya istri saya penasaran.

“Iya bu, nggak apa-apa. Pokoknya saya mau yang itu”, sambung ibu itu.

Akhirnya istri saya terpaksa berganti jilbab di mobil dan menjual jilbab yang baru saja dipakainya. Puas? Tentu saja. Bagi kami, kejadian ini merupakan salah satu bentuk apresiasi pelanggan terhadap JC.

Itu semua semakin memacu kami untuk bekerja lebih keras lagi. Mudah-mudahan apa yang sedang kami rintis ini mendapatkan hasil yang baik sesuai harapan. Amin.